IMPLEMENTASI PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM RANGKA PEMILU YANG DEMOKRATIS
IMPLEMENTASI PARLIAMENTARY THRESHOLD DALAM RANGKA PEMILU YANG DEMOKRATIS
Oleh: Endro Wibowo Aji
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konstitusi yang mengamanatkan kedaulatan ada di tangan rakyat membantu menegakkan kembali demokrasi yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya tidak lepas dari sarana-sarana pendukung lahirnya kebebasan berpolitik yang merupakan kriteria dan tujuan ideologi demokrasi, yakni pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dengan sarana partai politik. Partai politik merupakan salah satu sarana untuk merealisasikan partisipasi rakyat dalam pelaksanaan pemilihan umum. Dewan Perwakilan Rakyat. Perlu dipahami bersama bahwa melaksanakan pemilihan umum adalah konsekuensi logis dari negara demokrasi, karena telah tertuang dalam konstitusi negara itu sendiri dan merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung, sebab itu merupakan prasyarat negara demokrasi. Sejalan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilu di Indonesia dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil guna menyelenggarakan pemilihan umum dengan kompetisi yang sehat.
Sebelum pelaksanaan pemilihan umum 2009, muncul polemik mengenai penyerdehanaan partai politik. Terakhir kali, yang menjadi perdebatan adalah ambang batas perolehan kursi parlemen atau dikenal dengan ketentuan parliamentary threshold. Ketentuan parliamentary threshold telah tercantum dalam Pasal 202 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut menyatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Perhitungannya dilakukan setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, kemudian dibagi dengan jumlah suara secara nasional.
Ketentuan parliamentary threshold menuai pro dan kontra. Walaupun DPR dan pengamat politik berpendapat bahwa syarat ambang batas tersebut secara teoritis baik, namun apabila dikaitkan dengan dinamika kesadaran budaya politik masyarakat, maka gagasan syarat ambang batas ini mengalami kendala. Kendala yang dapat muncul adalah adanya pengekangan terhadap proses demokrasi, dan dinilai tidak mengakomodasi kepentingan seluruh komponen potensi politik bangsa. Namun, apabila ditiadakannya ambang batas, maka akan semakin banyak calon perwakilan yang akan duduk di parlemen, sedangkan parliamentary threshold, dapat mewujudkan multipartai menjadi lebih sederhana.
Lembaga-lembaga politik dapat menentukan aturan main terhadap demokrasi yang akan dipraktikkan, dan sering kali dikemukakan bahwa lembaga politik yang paling mudah untuk dimanipulasi demi tujuan baik ataupun buruk adalah sistem pemilihan umum. Pentingnya sistem pemilihan umum di Indonesia adalah karena sistem pemilihan umum berfungsi sebagai instrumen untuk membangun sistem politik demokrasi serta sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih . Atas landasan tersebutlah, maka perlu diadakan formulasi mekanisme pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat yang duduk di parlemen agar tidak terjadi pengekangan demokrasi yang telah lahir sejak reformasi 1998. Wacana parliamentary threshold secara teori memang baik, tetapi diperlukan adanya formulasi yang tepat untuk mengemas proses pemilihan umum berdasarkan konstitusi.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka bahasan yang akan dibahas adalah mengenai pokok bahasan seputar parliamentary threshold yang ada di Indonesia dengan memfokuskan bahasan mengenai permasalahan berikut:
1. Bagaimana pemilu yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana konsep parliamentary threshold yang dilaksanakan di Indonesia?
3. Apa pengaruh penerapan sistem parliamentary threshold dalam semangat penyederhanaan partai politik?
FORMULASI PARLIAMENTARY THRESHOLD UNTUK PEMILU INDONESIA
Parliamentary Threshold telah diberlakukan pada pemilu tahun 2009, maka tidak semua partai politik dapat menduduki parlemen karena adanya pengaturan batas perolehan suara. Namun, dalam sebuah partai politik jika ada suara yang hilang itu merupakan resiko demokrasi karena dalam lembaga perwakilan tidak semuanya mendapat banyak perolehan suara.
Sistem Parliamentary Threshold ini sudah diterapkan pada pemilu di Indonesia dalam 2 periode terakhir yaitu 2009 dan 2014 yang masing memiliki ambang batas yaitu pada 2009 (2,5%) dan 2014 (3,5%). Dan secara empiris telah membuat partai politik yang suaranya tidak mampu mencapai angka parliamentary threshold akan hilang dan tidak dapat menduduki parlemen. Hal ini terjadi pada tahun 2009 bahwa pada saat itu ada 29 partai politik yang suaranya hilang karena tidak mampu mencapai angka parliamentary threshold yaitu 2,5% dan pada 2014 ada 2 partai politik yang suaranya juga hilang. Kemudian pada 2019 terdapat 7 partai karena tidak mencapai parliamentary threshold yaitu yakni Garuda, Berkarya, PSI, Perindo, Hanura, PBB dan PKPI yang tidak menempatkan wakilnya di DPR.
Bahwa peningkatan ambang batas yang tinggi memang dimaksudkan sebagai upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi di lain pihak, peningkatan ambang batas yang tinggi juga akan menambah jumlah suara terbuang. Padahal jumlah suara terbuang berakibat pada meningkatnya disproposionalitas hasil pemilu dan hal ini yang seharusnya dihindari dalam sistem pemilu proporsional, perlu dilakukan simulasi penghitungan besaran ambang batas yang berpengaruh terhadap suara terbuang sehingga meningkatkan disproposionalitas. Mengenai ambang batas perolehan suara sah secara nasional sebenarnya mahkamah sudah memberikan pendapat. Dalam putusannya yang menyatakan :
Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menetukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk ET (electoral threshold) maupun PT (parliamentary threshold). Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya undang-undang tentang sistem kepartaian atau undang-undang politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Bisa diketahui bahwa tujuan pemberlakuan ambang batas parlemen adalah untuk menciptakan sistem multipartai yang sederhana. Dan dalam konteks politik, bahwasanya parliamentary threshold jauh lebih efektif digunakan dalam pemilu di Indonesia, karena Parliamentary Threshold lebih jelas konsekuensi dalam politiknya. Seperti parpol yang nantinya tidak dapat mencapai ambang batas yang telah ditetapkan, maka partai politik tersebut tidak dapat mengajukan atau mengirimkan wakil parpolnya di parlemen. Dan selain itu untuk menerapkan aturan ambang batas juga diperlukan upaya untuk menyederhanakan sistem kepartaian dengan mengecilkan alokasi kursi pada setiap dapil. Karena semakin kecilnya alokasi kursi pada setiap dapil akan membentuk sistem kepartaian yang lebih efektif. Maka dengan itu yang memiliki dukungan besar dari daerah pemilihan yang akan mendapatkan kursi.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bentuk pemilihan umum yang dilakukan di negara Indonesia selalu berubah seiring berjalannya waktu. Mulai dari fusi paksa atas keberadaan banyaknya partai politik yang sejalan dengan masing-masing ideologi, kemudian ber revolusi menjadi Electoral Threshold dengan diadakan pembatasan partai politik yang menduduki kursi parlemen apabila tidak memasuki jumlah ambang batas 2% atas persetujuan bersama dalam Dewan Perwakilan Rakyat di tahun 1999, hingga kemudian muncul Parliamentary Threshold yang ditentukan secara pasti dengan Peraturan Perundang-undangan yang dalam dewasa ini telah berganti 3 kali, dengan ambang batas yang mulai ditingkatkan dari tahun ke tahun, yakni 2008 sebanyak 2,5%, 2012 sebanyak 3,5% dan 2017 sebanyak 4%. Hal ini tidak semata-mata untuk membatasi adanya partai politik yang pendukungnya berada di tingkat minoritas, tetapi upaya daripada Parliamentary Threshold ini untuk mengurangi adanya Waste-Votes.
Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara Demokrasi, pastinya akan menempatkan kedudukan Election sebagai sebuah bentuk penegasan dari bentuk Demokrasi yang mereka yakini yang sejatinya yaitu of the people, by the people, and for the people, tidak ada yang lain. Namun, perlu disadari sepenuhnya bahwa dalam parlemen bila memasukkan terlalu banyak background ideologi dari keberadaan multipartai bila suatu negara tidak memperhitungkan dan menentukan Threshold dengan baik, maka hal tersebut akan menurunkan produktifitas parlemen bagi suatu bangsa, dan justru akan meningkatkan perdebatan serta mengakibatkan kemandegan kinerja bagi parlemen.
Parliamentary Threshold merupakan sistem yang solutif bila diterapkan di negara Indonesia. Dengan adanya sistem Parliamentary Threshold dapat lebih mengerucutkan serta menyeleksi partai politik yang telah ikut dalam kontestasi untuk duduk di parlemen yang tujuannya adalah untuk bentuk penyederhanaan sistem multipartai yang sedang terjadi di Indonesia.
Kondisi masyarakat Indonesia yang Bhinneka menjadikan background serta ideologi serta kepentingan dari masyarakat yang masuk dalam wadah partai politik menjadi bermacam-macam. Dengan pelaksanaan sistem Parliamentary Threshold, ambang perolehan suara untuk partai politik yang mencapai batas agar dapat mendudukkan wakil pilihannya untuk mewakili eksistensi partai politik dapat dengan efisien untuk menjalankan apa yang dicita-citakan dalam partai politik yang mengusung dirinya.
Bahwa bentuk gagasan Electoral Threshold tidak sepenuhnya benar, tetapi kami juga tidak menganggapnya itu salah. Sebuah pemilihan umum di sebuah negara memiliki sistem yang serba relatif dan menyesuaikan kondisi serta situasi sebuah negara itu sendiri. Parliamentary Threshold juga memiliki kelemahan dalam penerapan yang ada, diantaranya yaitu,
1. Menguntungkan Partai Politik Yang Sudah Terkenal, partai politik berskala nasional seperti PDI-P, Demokrat, Golongan Karya dan partai politik lain yang pernah memegang suara pemilihan dengan skala besar seperti merekalah yang nantinya akan banyak menduduki jabatan dalam parlemen;
2. Berpotensi Menghilangkan Keberagaman Representasi Partai Politik Dari Berbagai Kalangan, cetusan ide progresif sebuah negara akan menjadi sama dari tahun ke tahun dan bahkan menjadi stagnan, karena orang-orang yang menduduki sebuah jabatan di parlemen hanya dari partai politik yang memiliki suara pemilih terbesar saja di setiap tahunnya;
3. Melemahkan Partai Politik Atau Perwakilan Tingkat Daerah, partai politik atau perwakilan tingkat daerah akan kalah bersaing dengan partai politik berskala nasional yang memiliki calon perwakilan rakyat dan dalam kampanyenya mudah untuk meraih suara karena partainya sudah dikenal masyarakat luas;
4. Membatasi Partai Politik Kecil Menduduki Kursi Parlemen, dengan kondisi yang kalah bersaing dengan partai politik yang sudah dikenal dengan masyarakat luas menjadikan partai politik yang memiliki suara minoritas menjadi terbatas keberadaannya karena banyak dari partai politik tersebut yang tidak dapat melampaui ambang batas yang ditentukan dalam pemilihan.
Meninjau dalam kebutuhan rakyat Indonesia berdasarkan kepentingan, parlemennya masih membutuhkan sebuah pembatasan dengan menerapkan Parliamentary Threshold sebagai upaya penampungan hanya beberapa kepentingan partai politik saja dan tidak terlalu banyak agar tidak timbul kondisi stagnan dari parlemen karena banyaknya pertentangan kepentingan partai politik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andrew Reynolds dkk., Desain Sistem Pemilu : Buku Panduan Baru Internasional IDEA (Swedia : International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2005).
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensiil Indonesia (Jakarta : RajaGrafindo Persada 2010).
Tim Indonesia baik.id, Buku Pintar Pemilu 2019 Seri Kedua : Tata Cara Pemilu 2019 Dan Sejarah Pemilu di Indonesia (Jakarta Pusat : Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika 2019).
Jurnal
Abdul rokhim “pemilihan umum dengan model parliamentary threshold menuju pemerintahan yang demokratis di Indonesia” DIH jurnal ilmu hukum vol 7 no. 14.
Fuad putera perdana ginting & anwar saragih “ ilusi demokrasi substansial di Indonesia : sebuah kritik terhadap impementasi parliamentary threshold” politeia jurnal ilmu politik, 10 (2) (2018).
Kuswanto, Penyederhanaan Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil yang multipartai, Jurnal Yuridika (2013), Vol 28 No. 2.
Markus H. Simarmata, “ mencari solusi terhadap keraguan sistem pemilihan umum yang tepat di Indonesia “, Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 14, No.3. Nur’ Ayni Itasari, Penerapan Parliamentary Threshold Pada Pemilihan Umum 2009 (Al-Daulah : Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2013).
Sunny Ummul Firdaus, Relevansi Parliamentary Threshold terhadap Pelaksanaan Pemilu yang Demokratis (Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 2, April 2010).
Laman
Maudy Adreana, “Parliamentary Threshold Hantu bagi Partai Baru”, http://fh.unpad.ac.id/parliamentary-threshold-hantu-bagi-partai-baru/ accessed 7 Mei 2020.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 52/PUU/X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Tidak ada komentar: